Prehistoric Creature for this time is..

Prehistoric Creature for this time is..
Argentavis magnificens, perkenalkan burung terbang paling perkasa sepanjang masa. dengan rentang sayap mencapai 7 meter dan memiliki bobot seberat orang dewasa serta dilengkapi paruh dan cakar sebesar telapak kaki beruang merupakan raptor udara paling menakutkan di masa eosen akhir ( 6 juta tahun yang lalu )

Welcome Future people !

selamat datang orang orang masa depan, jangan sia siakan hidup anda hanya untuk mengkritisi kehidupan. cobalah untuk menikmatinya dan tetap bersanding pada asas moral agar kita bisa menjadi manusia yang benar benar manusia. kritikan harus disertai usaha dan mencari solusi okee ? ..

Sabtu, 05 November 2011

Tulungagung groove adventure (full story)

Well, hai semua…. lama aku gak buat cerpen.. aku punya pengalaman unik nih selama di tulungagung.. dalam bentuk cerbung ( cerita bersambung ) . tak usah basa basi, ini dia ceritanya.. selamat menikmati All ^^

Tulungagung groove adventure bagian 1 : “

“kisah rakyat kecil mencapai tujuan”

Orang orang berlalu lalang, tua, muda tak terkecuali anak anak. Itulah pemandangan pertama yang kulihat di stasiun kereta api wonokromo. Aku berjalan menuju tempat antrian untuk membeli karcis kereta api. Tujuanku adalah ke tulungagung, sebuah desa yang bersolek menjadi kota besar suatu saat. begitulah yang terfikir dalam bayangku. Aku dengan seksama menatap jadwal keberangkatan kereta api yang terlalu rumit di mataku, karena ini kali kedua aku menaiki kereta api setelah 11 tahun berlalu. aku kebingungan memilih kereta apa yang harus kunaiki. tapi Tak disangka, suara kecil mengagetkanku dari belakang.

“pak…!”

“wee… indah, ngapain di sini?”

“gak salah to pak? Aku yang harusnya Tanya, kok tumben mampir ke wonokromo? Kalo aku kan mau pulkam, pulang kampung ke jombang”

“ehhh.. aku mau ke tulungagung… naik apa ya? Sancaka pagi bukan?”

“bukan lah pak.. naik doho. doho ke tulungagung.. tinggal pilih lewat malang atau kertosono?”

“yang paling cepet wesss…?”

“lewat kertosono aja pak..”

“oke budal….!”

“aku juga naik doho kok pak, soalnya lewat jombang”

“wahhh.. sippp.. ayo cepet masuk..!” ujarku bernafas lega, setidaknya 2 jam dari 6 jam perjalanan ku tidak akan sepi.

Dia adalah indah, temanku satu kelas di geografi. Indah adalah gadis kecil berkerudung yang selalu aktif. Jangan pernah meremehkan tubuh kecilnya, karena dia adalah perempuan tangguh yang sudah berkali kali menaklukan alam bersama organisasi pecinta alamnya di geografi.

Masuk ke dalam stasiun, terlihat kursi panjang berbanjar rapi bersama orang orang kelelahan menunggu kereta api yang tak kunjung datang. Aku masih celingukan memilih tempat duduk yang cukup untuk kami berdua, namun tiba tiba indah menunjuk suatu lokasi, aku pun menurut mengikutinya. Dari dekat kulihat sesuatu yang berkilauan mengusik mataku.

“weeehhh halo cak !” pemuda dengan kepala berkilau itu menyapaku

“loh onok bagas pak, wah sampean gak ngara dwean nak Tulungagung” ujar indah

“nak T.A pisan ta fi? Onok opo toh?” ujar bagas

“iyo jeh.. ape nak umah dulur… wah sip, onok kancane..” ujar ku lega, sepertinya perjalanan ini direstui oleh yang maha kuasa.

“wes lungguh kene ae loh..fi, ndah,…” ujar bagas, mempersilahkan.

Dia adalah teman satu kelas juga, namanya bagas. Dia tidak botak, hanya saja rambutnya Nampak rimbun dan pendek. Hidungnya mancung, kulitnya putih, cetak biru wajah Idola semua gadis. Sepasang headset menyumbat kedua telinganya, mendengarkan musik musik indah sambil melupakan sejenak kereta yang datang terlambat. Kamipun duduk bertiga, bercerita tentang perjalanan, dan kampus yang akan kami tinggalkan sementara waktu. Sejenak kupalingkan wajahku untuk melihat sekeliling stasiun. Di ujung utara kulihat seorang penyanyi stasiun, dia adalah penghibur para calon penumpang di wonokromo. Tak terlihat dirinya seperti penyanyi layar kaca yang sarat akan erotis. Gadis itu Tubuhnya pendek, atau terkesan kerdil. nampaknya dia juga buta. Sungguh memilukan melihatnya, tanpa ragu sedikitpun ia bernyanyi di panggung rakitan yang tak lebih dari 8 meter luasnya. Terlepas dari itu, telingaku mendengar sesuatu yang merdu sekali. Rupanya suara itu berasal dari gadis penyanyi stasiun. Di balik fisiknya yang tak sempurna rupanya ia menyembunyikan mutiara nada di balik kerongkongan. meski para calon penumpang Nampak acuh tak acuh mendengarnya. Toh ia tidak dapat melihatnya. Dengan tersenyum penyanyi buta itu tetap asik menyanyikan lagu hello dua cincin dengan merdu, Sungguh gadis yang tangguh.

Lama kami berbincang hingga terdiam bosan menunggu doho yang tak kunjung datang, tiba tiba sebuah suara keras mendengung di telinga. dari kejauhan, Ular besi yang kami tunggu sudah tiba di stasiun. Seketika itu juga doho memuntahkan isi perutnya yang penuh manusia kelelahan. Tak ayal, kami bertiga pun bergegas menuju badan ular besi yang berhenti sejenak. Bagas yang sudah kenyang menaiki kereta, segera memilih tempat ternyaman dan memberi kami komando untuk mengikutinya.

Nampaknya semboyan budayakan antri masih mustahil jika tidak ada seseorang yang berteriak “weeee.. dahulukan yang turun dari kereta!!!” di antara kerumunan. Setelah bergumul dengan penumpang lain yang berebut masuk berburu kursi, kamipun mendapat tempat di lorong, tanpa tempat duduk. Ya.. tak usah difikirkan, toh yang penting kita sudah masuk kereta, Gumamku.

Setelah semua kesemrawutan ini reda, dan penumpang sudah mulai tenang dengan berdiri ataupun duduk, kami pun meluncur dengan kereta api si ular besi, merayapi rel dan menyantroni stasiun stasiun lain, yang akan sering kami temui dalam perjalanan panjang ini.

“Gruduk gruduk….gruduk gruduk….”

Bunyi itu selalu terngiang di kepalaku, bunyi roda kereta api yang menghentak tanah selama perjalanan. Di dalam kereta, kami pun cukup bosan. selain haus mendera kerongkongan, panas pun juga menguapkan keringat. Di balik penderitaan para penumpang, Hal itu dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk berdagang di dalam kereta. Semuanya tumpah ruah menyusuri satu demi persatu gerbong, berharap mendapatkan rupiah dari kesulitan kami. Gerbong kereta seolah disulap menjadi mall mini, hanya saja kamu tak perlu beranjak dari tempat dudukmu. Para pedagang akan menghampirimu dan menawarkan dagangannya. Mulai dari pedagang makanan dan minuman, aksesoris, pengamen, kipas, bahkan buku juga ada. Dari yang hanya diam saja menyodorkan barang hingga yang berteriak “ Mizon, mizon… ale ale…aqua dingin..” “stiker…. Upin ipin… sewuan… bisa milih…”.”cang kacang, kacang godok…” “sego pecel, nasi ayamm…” Sampai para pedagang yang seenaknya saja meletakkan barang dagangan di penumpang yang tetidur pulas. Semua tersedia di kereta kelas ekonomi seperti doho.

“begitulah pak kereta ekonomi… semua orang pada cari duit” ujar indah, menghela nafas panjang karena kekurangan oksigen.

Mulutku menguap lebar, sebisa mungkin kututup dengan telapak tanganku. Sepertinya Ngantuk mulai meradang di mataku. Pemandangan masih sama seperti 2 jam yang lalu, berkali kali pedagang berlalu lalang mengais rejeki. Dan berkali kali pula aku menolak tawaran pedagang. Pengamen juga berlalu lalang menjual suara mereka demi 200 sampai 500 perak dari para penumpang. Panas sudah tak kuhiraukan, tubuhku rupanya mulai teradaptasi dengan gerbong yang miskin oksigen ini. Dari kejauhan seseorang pria bernyanyi, merdu sekali. Suaranya benar benar sekelas Hudson IMB. Kujinjitkan tubuhku yang bagai mercusuar untuk melihat siapa pelaku suara merdu ini. Rupanya gerombolan pengamen, Tapi ini bukanlah gerombolan pengamen yang sudah jenuh kulihat selama perjalanan, dari belakang, anak anak muda seusiaku dengan lincah memainkan gitar dan ukulele. Mengiringi sang penyanyi yang berada di depan. Penyanyi itu memainkan ukulele dengan cekatan, jemarinya bagai menari di atas bidang leher ukulele. Hal itu sudah biasa kulihat, banyak teman semasa SMA ku yang sanggup melakukannya. Namun yang membuatku terhenyak, Penyanyi itu sudah tua, seusia bapakku. tapi suaranya benar benar emas dan bapak itu buta.

3 menit gerombolan pengamen itu menghibur gerbong ini. Sang bapak buta menyanyikan lagu dari salah satu personil 3 diva. Entah lagu titi DJ, krisdayanti, ataukah ruth sahanaya. Yang jelas lirik yang dinyanyikannya adalah “Bersinarlah bulan purnama……” suaranya melengking indah di atas nada falsetto. Sayang aku tak membawa uang receh untuk mengapresiasikan rasa terhiburku ke mereka.

Menarik sekali, sudah 2 orang buta kutemui selama perjalanan memiliki bakat menyanyi yang luar biasa. Tak lepas dari semua kekurangan dan kelebihan orang orang itu, Allah maha adil.

Tak terasa perjalanan kami sudah mencapai stasiun jombang, saatnya berpisah dengan indah. Dia pamit kepada kami berdua dan berjalan meninggalkan kereta menuju stasiun. kebanyakan penumpang turun di jombang dan mojokerto sehingga aku dan bagas pun akhirnya memperoleh tempat duduk di kereta. Kesempatan ini tak kami buang percuma untuk beristirahat setelah 3 jam berdiri di kereta.

“Gruduk gruduk….jesssssss”

Kereta berhenti. Kubuka mataku yang sempat tertutup rapat dan melihat sekeliling. Sebuah stasiun besar terlihat di balik kaca kereta yang retak. Tertulis, Kertosono. “belum sampai fi, kita turun di stasiun ngujang” ujar bagas yang ada di sebelahku. Cukup lama kami berhenti di stasiun kertosono. Banyak penumpang yang memanfaatkan kesempatan ini untuk makan ataupun buang air kecil. Suara anak kecil menangis juga mendengung seisi gerbong, karena panasnya yang minta ampun. pemberhentian yang lebih lama dari stasiun lain, dikarenakan kereta api berganti “kepala” dalam perjalanan selanjutnya. Maksudku kepala adalah gerbong depan kereta yang menarik gerbong lain. Semula kami ke depan, setelah berganti dengan kepala di belakang, maka kami pun kembali melanjutkan perjalanan dari belakang, seolah olah berjalan mundur. Yang tanpa kami sadari selama perjalanan, kereta sudah banyak berbelok, tidak konstan seperti yang dirasakan penumpang.

Malam mulai tiba, langit malam bersolek dengan bintang bintang yang berlomba lomba menghiasi malam. Cerah sekali malam ini, tidak seperti di Surabaya. Bebas polusi cahaya dan aku dapat melihat eloknya bintang bahkan di balik kaca yang retak.

“fi coba lihat bintang bintang itu…” ujar bagas menunjuk ke luar

“waktu itu sebenarnya relatif, coba kita fikir.. matahari saja butuh waktu selama 6 menit menuju ke bumi, bagaimana dengan bintang yang jaraknya jutaan bahkan puluh jutaan tahun cahaya dari sini? Jadi mungkin saja bintang yang kita lihat sekarang ini sebenarnya sudah mati di galaksi antah berantah nun jauh di sana..” ujarnya menambahkan.

“hmmm.. bener gas, seperti kita sekarang juga. Sesungguhnya kita dikatakan bergerak atau tidak? Secara teknis kita diam. Namun kereta yang membawa kita sedang bergerak”

“hahahah bener juga tuhh!” ujar bagas tersenyum, kamipun tertawa kecil dan kagum akan pesona misteri di atas sana.

“gas, seperti apa tulungagung sekarang?”

“jauh lebih modern fi, Cuma yang aku suka, tulungagung tidak berambisi menjadi kota. dalam arti, tulungagung tanpa memaksakan diri menjadi kota tulungagung sudah maju dan tetap bercirikan tulungagung dari dulu. Terutama pariwisata” ujar bagas panjang lebar

“wa.. menarik sekali, soalnya banyak desa yang berusaha maju seperti kota tapi jadinya dia malah kehilangan nilai nilai budayanya” ujarku

“iya.. seperti itulah”

“ oh iya ngomong ngomong kamu ada turunan belanda ta?” tanyaku

“iyo fi, dari buyutku dulu sekali..”

“ohh.. lompatan generasi, terkadang ada warisan genetik yang melompat ke keturunan jauh di bawah. Sehingga mencirikan persis seperti dulu, pantes awakmu putih lan mancung” ujarku.

“hehehehehe…” ujar bagas tertawa kecil

Lama waktu berputar, tak terasa perjalanan telah sampai di stasiun ngujang. Ular besi yang sudah lelah itu menurunkan para penumpang tersisa., karena ini adalah kloter terakhir. Bagas berpamitan kepadaku karena sudah dijemput ayahnya. Tinggal aku sendirian di sini, ditemani lampu jalan yang kecil, menunggu seseorang menjemputku.

Tak lama kemudian bunyi knalpot tua terdengar dari kejauhan. Cahaya bundar menyorot wajahku yang kelelahan. Kulihat seseorang menaiki vespa hijau yang mengkilap. Dengan bendera kecil di slebor depan bertuliskan “tulungagung vespa club”.perlahan Ia copot helm bundarnya dan menyapaku.

“monggo”

“okee der…”

Kami berdua meninggalkan stasiun ngujang yang gelap, mengarungi tulungagung yang terlelap menuju kediaman derna.

Pagi pagi ku terbangun di sebuah kamar kecil, bekas kamar kakak derna. Ku berjalan menuju ruang tengah dan mendapati seorang wanita memasak dan bapak bapak gendut sedang duduk sambil minum teh. Kulihat derna sedang mencuci baju di dekat kamar mandi.

“fi.. nanti tak ajak ke gunung ya, biasanya banyak ular di sana.” Ujar bapak bapak itu

“iya fi.. di sana banyak ular.. om bono kadang lihat ular lewat” ujar wanita yang sedang memasak

“nanti pas aku pulang sekolahtak ajak ketemu mbah ukir” ucap derna.

“ iya… pasti seru..” ujarku masih belum sepenuhnya bangun.

Mereka adalah saudara ibuku di tulungagung. Rumah yang kutempati adalah seorang pengusaha mebel bernama

om bono. Istrinya adalah tante wiji yang sedang memasak. Memiliki 2 putra. yang sulung bernama danang, Sudah berkeluarga. Adiknya bernama derna, masih sekolah di Stm. Derna adalah anak berideologi rhasta dan penggemar skuter alias vespa.

Aku bergegas mandi lalu meminta izin untuk berkeliling sekitar rumah. Di sini adalah desa ngujang. Desa ini sudah terlihat seperti “pemukiman pada umumnya di kota”. Rumah rumah yang berjajar dengan halaman luas disini, dipisahkan sebuah jalan lebar yang biasa dilalui truk truk besar. Uniknya, hubungan kekerabatan masih ada di setiap rumah. Sehingga terbilang mereka tetangga sekaligus saudara.

Sambil mengusap usap rambutku yang basah, aku keluar dari rumah om bono. Rumah ini Nampak sibuk sekali dengan banya tukang sedang membuat mebel seperti meja dan kursi. Udara pagi menyeruak di hidungku, menimbulkan efek relaksasi yang berbeda. Karena oksigen masih agak murni di sini. Truk truk besar yang beristirahat semalam Nampak bergegas melanjutkan perjalanan. Sebuah rumah di tepian jalan menarik perhatianku. Bukan rumah itu yang menarikku kesana, melainkan sebuah sangkar besar yang dipajang di luar. Seekor burung cukup besar seukuran ayam betina Nampak melompat lompat dari balik sangkar, ia lebih senang berlari dan melompat ketimbang terbang. Matanya merah, bulunya hitam, sayapnya merah kecoklatan, Ekornya panjang bagai pedang. Terlihat gagah sekali di mataku. Terlepas dari kekagumanku, Tiba tiba seseorang menepukku dari belakang.

“fi, makan dulu.. ibuku sudah nyapin sarapan” ujar derna

“ ohh iya der. Eh der, ini burung apa?”

“ itu burung bubut. Kalo kamu mau nanti kita cari di pasar burung ngemplak”

“ ohhh keren yo… oke oke”

Aku berjalan meninggalkan burung itu sendiri di sangkar. Fikiranku untuk memiliki gagak sepertinya tergantikan oleh burung bubut. Toh menurut kepercayaan masyarakat, burung bubut sama “mistis”nya dengan gagak. Suara mereka seperti lonceng kematian bagi siapapun yang mendengarnya.

setelah sarapan, om bono mengajakku ke gunung wilis naik motor. Sementara menunggu derna kembali dari sekolah pada sore hari, tidak ada salahnya bertualang ke gunung bersama om bono. Misi om bono mencari kambing etawa dan kayu kayuan untuk usaha mebelnya. Sedangkan aku?

Tentu saja berburu ular…

Tulungagung Groove adventure bagian 2 :

“Misteri hutan bambu di kaki gunung wilis”

Aku dan om bono menuju kecamatan sendang, yang berada di kaki gunung wilis, mengendarai sepeda motor. semilir angin membelai wajahku dengan lembut. Panorama sawah yang terbentang luas Nampak megah dengan gunung wilis berdiri kekar di kejauhan. Memisahkan tulungagung dan ponorogo hanya dengan tubuh tambunnya, di sanalah sebagian masyarakat tulungagung menggantungkan hidupnya dari keberadaan gunung wilis.

Sekitar 20 menit motor melesat dari ngujang, sebuah gapura besar bertuliskan “Tempat wisata desa sumber sirah” menyambut mata kami. Panorama pun mulai berganti, semula yang ditemui hanya persawahan. Kini pohon besar dan pohon bambu berukuran raksasa berdiri kokoh di tepi jalan yang terbuat dari batu kali ditumpuk tanah.

“di sini banyak ular fi.. kalajengking juga ada” ujar om bono, meramaikan suasana jalan yang sepi

“wah jadi kerasan aku di sini om”

“hahaha.. ati ati ya tapi. Awas di gigit, benar benar turunan”

“maksudnya om?”

“nanti kamu tahu sendiri..” ujar om bono, membuatku semakin penasaran.

Tak terasa, jalan yang kami tempuh makin menanjak. Hutan hutan yang nampaknya masih perawan terbentang luas di cakrawala. Udara semakin dingin, mungkin karena lokasi kami semakin tinggi. Terlihat burung burung liar seperti cekakak dan kepodang aral melintang di langit tanpa takut tertembak.

Akhirnya kami berhenti di Suatu kampung kecil dengan dataran agak miring. Tertulis kecamatan sendang di salah satu beton pinggir jalan. Om bono masuk ke salah satu rumah yang penghuninya adalah pengusaha rotan. Berbagai kerajinan seperti ayakan rotan ataupun sapu lidi berjajar di sana. Bahkan kurungan ayam yang berbentuk kubah juga dipajang disana. Pengrajinnya kebanyakan wanita, dan beberapa pria disana terlihat sedang mengerjakan besi untuk pondasi bangunan. Aku pun mengikuti om bono masuk dan bersalaman dengan orang orang disana. Om bono berbincang dengan seorang kakek tua dengan topi bertuliskan djarum super dan rokok yang bermerk sama dengan topinya.

“ ada kayu pak? Nanti aku tukar sama meja dan kursi.. saya dari ngujang..”

“ boleh.. kebetulan kursi saya sudah lapuk dimakan rayap”

“iya nanti saya suruh pekerja saya kesini mengantarnya sama ambil kayu punya bapak”

Begitulah usaha om bono. Di luar dugaanku, rupanya bahan baku kayu yang didapat om bono tidak berasal dari “membeli” melainkan “menukar’. Mekanisme barter yang unik. Om bono menukar hasil mebelnya dengan bahan baku kayu, yang kemudian kayu itu diolah kembali menjadi mebel. Tentunya keuntungan sudah dikalkulasi sebelumnya. Selain itu, om bono juga sering mengirim hasil kerajinannya ke tulungagung kota.

Lama berbincang, om bono nanpak menyudahi percakapan dan beranjak dari kursinya lalu bersalaman. Aku yang sempat berbincang dengan salah satu pengrajin akhirnya ikut berpamitan pula. Setelah mengucapkan salam, kami berdua melanjutkan perjalanan Karena om bono belum mendapatkan kambing etawa..

Om bono mengajakku semakin naik ke atas. Melewati kampung, menyusuri pepohonan, dan menyapa warga yang lewat. Iya benar, warga yang lewat. Ketahuilah kawan. Jika di kota kita hanya akan bertutur sapa dengan orang yang kita kenal, lain halnya di desa. Di desa, orang yang tidak kita kenal biasanya akan menyapa duluan. dengan senyuman aku membalas ramah tamah mereka. Sungguh menakjubkan, di sini kesantunan masih terpelihara. Seorang petani, penggembala sapi, ataupun hanya orang lewat saja masih menyempatkan diri untuk menyapa meski tidak mengenal kita. Om bono yang bertampang garang pun sering menyapa dahulu jika lewat. Memang terkadang mobilitas dan gaya hidup modern melupakan kesantunan timur kita.

Akhirnya, perjalanan kami terhenti di dataran tinggi yang cukup terjal. Matahari memang tepat di atas kami, namun barikade pohon bambu raksasa mengahalangi sinar matahari dengan mudah. Tempat ini sejuk sekali. Seolah olah berada di tengah tengah pohon bambu di cina. karena lebatnya tempat ini, jalan yang kami lalui tidak terlihat karena daun daun bambu kering menutupi jalan. Aku terpesona akan keindahan tempat ini. Sunyi senyap, hening, hanya ada suara angin yang berbisik di telinga. Sesekali dedaunan bambu yang ringan jatuh, melayang, dan berputar putar dahulu sebelum akhirnya mendarat di tanah. Sungguh tempat yang romantis. jika aku membuat cerpen roman lagi, akan kupilih tempat ini sebagai latar belakang lokasinya. Om bono sepertinya mengerti arti tatapan mataku, dia menepuk pundakku dan berkata

“om mau ke atas dulu, kata kakek tadi di sini ada yang punya kambing etawa. Kalo kamu mau jelajah silahkan. Di sini banyak ular. Om tahu kamu bukan anak kecil lagi, jaga diri kamu, om percaya sama kemampuan kamu. Nanti om tunggu di sini, jangan lama lama ya.”

Aku hanya tersenyum. Setidaknya, “keliaran” ku adalah “pangkat”ku untuk dianggap dewasa. Tanpa basa basi aku menuruni lereng kecil di sebelah jalan, menerobos pohon pohon bambu berduri. Untungnya aku sudah berbekal jaket levis kelabu yang tebal, sehingga duri itu tidak akan sempat menembus kulitku yang tipis. Setelah terus menuruni lereng aku sampai di sebuah tempat yang sunyi, sangat sunyi. Bahkan suara angin tidak terdengar di telingaku. Hanya sekumpulan batang bambu raksasa dan serasah dedaunannya yang kupijak. Sesekali cahaya matahari mengintip dari daun bambu yang bergoyang.

Kumatikan otakku, sekarang saatnya berburu. Aku menghela nafas panjang, mencium bau apapun yang dapat dikenali hidungku. kemudian aku berjongkok, berharap menemukan ular yang sedang bersembunyi di celah bambu. Rasa takut terlintas di fikiranku, Karena hanya ada satu jenis ular yang nyaman tinggal di sini. Dia adalah ular berbisa terbesar di dunia

ular king kobra.

kubuang jauh jauh rasa takut, toh ular king kobra patukannya lambat. Namun tak serta merta aku meremehkannya. Amatiran seperti aku akan memiliki suatu prestise jika berhasil menangkap ular king kobra. Tentu saja tak ku bawa pulang, hanya aku foto saja dan pastinya levelku sebagai pawang akan meningkat.

Terlepas dari imajinasi, aku berjalan lagi menyusuri pohon bambu. Semakin dalam aku menelusuri, bunyi bunyian makin banyak kudengar. dengan seksama kupilah bunyibunyian itu. Ada bunyi daun bersinggungan, ada pula bunyi kepakan burung kecil lewat. Sedangkan yang kucari adalah bunyi merayap di tanah. Tak lama kemudian aku mendengar bunyi serasah yang berlompatan. Instingku langsung merespon jika itu adalah ular yang tengah melintas. Tak ada keraguan dalam benakku, karena ular king kobra memang terkenal besar dan jika melintas tentu saja serasah daun akan berhamburan dilewatinya.

Aku berlari mengejar bunyi itu. ranting ranting sedikit memperlambat gerakku, segera kupatahkan mereka dan membungkuk melewati lengan bambu yang menutup jalan. Tiba aku di sebuah tempat yang ramai, Ramai akan bunyi pukulan air. Ternyata itu sungai kecil yang membelah dataran, Semangatku semakin memuncak. karena di mana sumber air berada, dapat dipastikan di sana ada ular. Aku berdiri tegak memandang sekelilingku. Jauh mata memandang, yang ada hanyalah pepohonan bambu yang bergoyang. Kusipitkan mataku untuk mengenali gerakan makhluk itu sekecil mungkin.tak lama kemudian sebuah suara yang tak asing menyeruak di telingaku

“srakkk… srakkk…”

Kukejar bunyi itu, ku berlari menampar angin dan menebas ranting. Tak lama kemudian, aku mendapati seekor tikus berlarian melintasi pinggir sungai.

“kukira itu ular… huft..” ujarku kesal, Kulihat jam tanganku dan mendapati aku sudah menjelajah selama 30 menit.

“Mungkin om bono sudah menungguku di atas sana”

Dengan sedikit penyesalan aku telusuri lagi jalanku waktu datang. mungkin tidak sekarang, Yang jelas aku sudah cukup puas dapat menjelajahi pesona hutan bambu yang misterius.

Om bono Nampak pucat, dia mengatakan padaku kalau orang di atas tidak mau menjual kambing etawanya kepada om bono. Beliau bertanya padaku juga, apa aku menemukan seekor ular. dengan enteng aku mengkerutkan bibirku dan menadahkan tanganku ke samping. Om bono pun hanya bias bergeleng geleng. Tak lama kemudian beliau tersenyum dan mengajakku melanjutkan perjalanan.

­­­­­­­­­­­­­­­­­­

Sekarang kami telah keluar dari hutan bambu yang misterius. Sawah sawah dengan metode terassering menyapa kami dari kejauhan. Terlihat jalan berkelok kelok dengan turunan dan tanjakan yang cukup tajam di sana, menantang motor supra fit tahun 2005 om bono untuk menjajal trek itu. Om bono langsung berteriak pegangan dan memacu motornya dengan cepat. Aku yang tidak doyan ngebut langsung saja blingsatan melihat om bono muda kembali menjadi penggila balapan liar.

“wwwwwwwoooooohhhhhoooo……….!”

“ati ati om!!!!!!!”

“seruuuuu fi…….!”

Bahkan orang ini lebih edan dari bapakku yang biasa tertawa ketika menyetir back hoe yang besar.

Setelah selesai melewati trek gila itu, kami mendarat di sebuah tempat bernama desa picisan. Sebuah desa yang damai dengan rumah rumah berparabola di mana mana. Seperti biasa, om bono mempersilahkanku untuk berkeliling sementara beliau masih dalam perburuannya mencari kambing etawa.

Tahukah kalian apa itu kambing etawa? Kambing etawa adalah kambing penghasil susu. Tentunya susu kambing, bisnis yang mulai digandrungi di sini selain investasi sapi. Perawakannya tinggi besar, bulu biasanya cerah dengan telinga panjang menjuntai ke bawah. Tanduk umumnya kecil, dan rahang bawahnya maju ke depan seperti orang ndoweh. Harganya antara 5 sampai 7 juta. Bahkan untuk babon ( indukan) bisa sampai 9 juta. Tinggal pintar pintarnya kita menawar.

Aku berjalan menyusuri desa. Pemandangan yang sering kulihat di sini adalah kandang sapi dan kambing. Ada sapi bertanduk besar seperti auroch, ada pula yang seperti kerbau. Sebuah usaha batu bata menarik perhatianku. Pembuatannya seperti batu bata pada umumnya, hanya saja batu bata itu memiliki “trademark” alias “merk”. Lucunya, merk itu berada di tubuh batu bata. Sebuah cetakan 2 jari tangan menghiasi batu bata tersebut. Anggap saja batu bata cap “dua jari” hahaha.

Kulihat sebuah bangunan kecil di tengah tengah desa. Tertulis itu adalah sebuah taman kanak kanak. Dengan jungkat jungkit yang hampir tidak dapat digerakkan, dan karya seni anak Tk di tembok. Yang membuat miris, rupanya pengaruh buruk tv sudah menjamah desa ini. Terlihat dari lambang lambang “love’ yang dicoret dengan krayon, membingkai nama anak laki-laki dan perempuan. kupalingkan wajahku ke bawah dan memandang sebuah bungkus makanan ringan bergambar sule dan tertulis :

Snack Sule : Prikitiew.

“tambah pinter ae wong wong saiki” gumamku

“ fi !! ayo balik, sudah sore…!” teriak om bono dari kejauhan.

Hari sudah sore, waktunya kami untuk pulang ke rumah. Om bono lebih santai menyetir motor kali ini, mungkin karena sudah cukup lelah melalui hari bersamaku. Perjalanan kami tiba di sebuah sungai besar yang deras. Tampak sebuah perahu tambang beradu dengan derasnya sungai di tepian. Om bono mengatakan padaku lebih enak “nambang” ( sebutan untuk menaiki perahu ini ) daripada berputar, karena bayarnya hanya seribu rupiah, berputar akan memakan waktu lama dan bensin yang tidak sedikit. Tak lama, Tiba giliran kami untuk menaiki perahu. Bersama pengendara motor lain, perahu ini mulai berlayar miring ke sisi sungai di seberang. Jalinan tali besi dengan rapat mengunci posisi perahu ini dan sebuah roll berjalan mengikuti perahu bergerak. Sang nahkoda tengah asik memandangi burung brung sriti yang menantang derasnya sungai mencari serangga air. Tubuh kecil sriti begitu lincah mengecoh pukulan sungai, sang nahkoda menggigit dan mengunyah batang tebu yang manis, sambil melihat surya yang tertutup awan. Perjalanan kami ditutup dengan seekor elang terbang rendah di atas sungai, memamerkan kedua sayapnya yang perkasa sambil berteriak membahana di angkasa.

Sesampainya di rumah, tante wiji sudah menyiapkan makan sore dan terlihat derna sedang memandikan vespanya. Selesai kami makan, perbincangan kecil terjadi diantara aku dan keluarga ini.

“dek.. ajak alfi ke mbah ukir sana biar tahu, mbahmu di sini ada banyak loh fi. Ada mbah kinem, mbah ukir dan lain lain” ujar tante wiji

“iya fi.. masih kuat kan? Biar di ajak derna ke sana” kata om bono, melanjutkan.

“iya om.. aku tak mandi dulu..”

“dek, ajak alfi ya..”

“beres ma…” kata derna, sambil mengunyah lele goreng.

Setelah mandi, derna mengajakku keluar menaiki vespanya. Bunyinya yang khas membuatku selalu teringat. Derna mengajakku ke sebuah makam. Lebih dikenal dengan “makam ketek ketek ngujang”. Ketek yang kumaksud adalah monyet, bukan ketiak. Apa jadinya jika sebuah makam berhiaskan bulu ketek?. menurut legenda, monyet monyet di sini adalah jelmaan orang orang yang mati dan menjadi penjaga makam ini. Menurut warga, monyet di sini jumlahnya selalu tetap. Tidak lebih, tidak pula berkurang. Konon tidak ada yang berani menganggu apalagi mengambil monyet di sini karena akan kena kutukan dari leluhur.

Sebatang pohon trembesi raksasa berdiri kokoh di tengah tengah kompleks makam. Nampak monyet monyet berlompatan di pohon. Berjalan jalan di tanah, dan ada pula yang memakan taburan bunga para pelayat yang diletakkan di makam. Pemberhentian kami berada di ujung kompleks makam. Terlihat sebuah mega proyek kabupaten tulungagung sedang membangun jembatan baru di sebelah jembatan lama. Nampak para pekerja tanpa rasa takut, menggarap jembatan. Padahal 20 meter di bawahnya adalah sungai lebar yang cukup deras untuk menenggelamkan seorang manusia.

Terlepas dari apa yang kulihat, derna menurunkanku dan mempertemukan diriku dengan seorang kakek kakek bertubuh besar. Rambutnya sedikit beruban. Kumisnya panjang berwarna putih seperti wong fei hung kala tua. Yang lebih membuatku terbelalak, kakek itu bertatokan nyi blorong dan ular naga masing masing di kanan kiri bidang dadanya yang lebar.

“mbah…” derna mencium tangan kakek itu, akupun mengikutinya.

“enek opo le kok merene?” ujar kakek itu.

“niki mbah, putune sampean tekan suroboyo” ujar derna sambil menunjukku.

“putune sopo le?”

“lek kin mbah, srikin..” ujarku.

“ohhh mak kin tohh….piye kabare mak kin? Mak kin iku adikku loh.”

“apik apik wae mbah”.

“dolan ta le? Jarang jarang dulur suroboyo merene”

“nggeh mbah.. preian”

“putune mak kin sing iki pawang ulo loh mbah” ujar derna memotong

“loh… seneng dolanan ulo ta le? Wa putune mbah temen awakmu..”

“pawang mbah??” aku semakin penasaran.

“nggeh, mbiyen le.. saiki wes kukut mbahmu, Wes tuek. Jenengku mbah ukir, Jok lali loh !. saiki mbah ganti warung, gawe tukang jembatane mangan. Mbah biasane dolek ulo sendok di enggo obat kuat.”

“woohh… tahu kecokot mbah?”

“tahu lah.. bolak balik, tahu iko mbah sampe melbu rumah sakit 2 minggu gara gara kecokot. Padahal biasane gak popo. Toh akhire mbahmu jek urip? Wes kebal kok. Hahahahahah” ujar mbah ukir tertawa penuh kemenangan menipu maut, perutnya yang buncit berayun ayun dan tato di dadanya bergerak seolah ikut tertawa.

“dolanan ulo opo ae le? Onok ta ulo nak suroboyo??”

“yooo mek ulo ulo banyu tok mbah..jarang jarang nagkepe. Lek nganggur ae”

“husstt putuku, tak kandani, koe lek during isok negep ulo sendok during isok disebut pawang. Kapan kapan mereneo dudukno mbahmu kowe dulinan karo ulo sendok. Oke?”

“ohh.. oke mbah, gampang… putune sampean kok”

“hahahahahaha” mbah ukir tertawa lagi.

Karena hari semakin sore, kuputuskan untuk berpamitan dengan mbah ukir dan warung makannya. Sejenak kulihat monyet monyet ngujang. Rasa penasaran membuatku ingin menyentuh salah satu dari mereka, namun monyet yang ingin kupegang sepertinya jantan utama. Dia begitu marah dan kawanannya melihatku dengan tajam. Aku pun sedikit panik. yang kutahu, jika seekor macacus fascicularis mengeluarkan ancaman kita harus membalasnya dengan sikap mengancam. Jika kita lari atau terlihat takut, mereka akan semakin berani menyerang kita. Kuhentakkan kakiku untuk menggertak kawanan monyet itu, tiba tiba Derna menghampiriku dengan vespanya.

“weee gak semua binatang isok jinak karo awakmu ! ayo cepet numpak, engkuk dikeroyok!”

Seketika itu pula aku langsung naik vespa derna dan melesat meninggalkan makam ketek ketek ngujang. Suara tawa mbah ukir membahana di balik pohon trembesi raksasa…

Tulungagung groove adventure bagian 3

“jamuan dibawah bintang”

Setelah puas bertemu mbah ukir, derna mengajakku ke sebuah tempat. Tempat itu dikelilingi tembok tinggi berwarna merah dengan pintu gerbang besar berhiaskan kepala kilin, singa api legenda dari cina, makhluk mitos asal muasal tarian barongsai. Dengan santainya, derna mengendarai vespa memasuki lokasi itu. Pemandangan dibalik tembok membuat mataku terbelalak. Huruf huruf mandarin menghias sepanjang tugu, Bau bau dupa menari nari di hidungku, bulu kudukku perlahan berdiri. pasalnya, kami melewati sebuah kompleks pemakaman cina.

Kaligrafi khas tiongkok terpatri indah di setiap nisan marmer yang kami lewati. Terlintas di fikiranku, apa salah satu kerabat kakekku dimakamkan di sini. Kutanyakan hal itu kepada derna yang asik asik saja menerabas semak semak dan menganggu kawanan kambing yang lewat.

“der, dulure mbah yong ada yang di sini ta?”

“oh, gak ada fi…. Ya, Cuma makam ayahe mak kin di makam ketek ketek tadi..”

“ ohhh… tak fikir… terus kamu kenapa lewat sini?”

“pengen ae.. toh liatin kamu juga. Di sini makamnya bos bos tulungagung kota”

“bah… suwi suwi kene iso dikuasai wong cino”

“haahahahahaha….”

Matahari pun tenggelam, Di ikuti gerombolan burung gereja terbang tinggi di angkasa. Kereta api yang melintas, membiaskan sinar surya terakhir sebelum kami sampai di rumah.

Malam hari di ngujang, tulungagung. Suara jangkrik sesekali terdengar sedang berkonser ria di rerumputan. Para kodok pun tak ketinggalan berlomba menyanyi di sawah. Ngujang belum terlelap. Meski beberapa truk besar telah beristirahat di tepi jalan, kendaraan masih lalu lalang dan kediaman warga masih bertiup aroma aktivitas di dalam.

Aku dan derna bersiap untuk wisata malam dengan vespanya, melihat nafas tulungagung ketika malam. Tentu sangat disayangkan jika malam yang indah ini kuhabiskan hanya untuk merakit mimpi seperti yang kulakukan di Surabaya. Langit Nampak cerah, hitam kelabu bertabur bintang. Bintang terlihat membelah malam dengan untaian cahayanya, membentuk garis lurus sepanjang horizon, sungguh indah. Raungan vespa derna pertanda dimulainya wisata kami menyusuri malam. Tak lama, kamipun melesat ke jalan.

“memang kita mau kemana der…?” ucapku, agak menggigil karena dinginnya angin malam.

“tak ajak ngopi……!” ujarnya agak berteriak, supaya suaranya tidak kalah dengan angin.

“bolehh boleh….”

“warung kopinya selalu ramai ! tapi sebentar aja ya, aku udah agak ngantuk ne..”

“oke oke… enak ta tempat cangkruk’annya? Kalo di Surabaya tempat ngopi favorit di jembatan mer”

“yaaa seperti itulah, aku pernah kesana kok!”

Tanpa basa basi derna mengganti gigi vespanya dengan tangan ke kecepatan maksimal. Roda vespa berputar cepat menyamai kantuk kami yang mulai meradang. Vespa melaju melewati sebuah jalan raya, mengitari kampung, menjelajahi sawah, cukup jauh sepertinya tempat tujuan kami, atau derna hanya ingin berputar putar memperlihatkan eloknya tulungagung sambil menghilangkan kantuk?.

Setelah berkutat dengan terangnya lampu jalanan, melewati sebuah pesantren unik yang bercorakkan candi hindu, akhirnya kami tiba di sebuah jalan lurus yang gelap. Di sisi kiri jalan banyak rumah warga berjajar rapi, namun tidak semua mau menyalakan lampu teras di malam hari. Sedangkan sisi kanan jalan adalah hamparan sawah luas yang gelap dengan suara suara misterius menggaung dari arah sana.

“sreeeett… wroonnggg”

Vespa derna berhenti di suatu tempat yang sunyi, Tak ada keramaian seperti yang dikatakan derna. yang ada hanyalah gang kecil dan sebuah umbul umbul besar tertulis “warung kopi desa boro”. Derna mengajakku masuk ke dalam gang kecil itu, tentu saja aku mengikutinya. Tak lama kemudian tapak kaki kami berhenti di tempat seperti warung besar, halamannya luas dan pembelinya juga banyak.

Tua, muda, semua laki laki bersantai di sini menikmati kopi atau minuman energi mereka. Tak lupa rokok dan asbaknya menghiasi meja. yang jadi perhatianku adalah adanya wanita dalam jumlah tidak wajar di sini. Kukira bapak bapak itu mengajak anak mereka atau istri mudanya, atau seorang pemuda mengajak pacarnya. Tapi, Sebuah candaan dan perilaku erotis terhadap wanita wanita itu meyakinkanku bahwa ini bukan warkop biasa, melainkan warkop “plus plus”.

Derna melihatku dengan tatapan sedikit gugup, kemudian dia berbisik di telingaku.

“ini tempat berbahaya bro, awas imanmu bias telanjang di sini”

“………”

Derna bukan orang mesum, dia hanya ingin agar aku tahu. Sebelumnya di vespa dia sudah bilang jika tak berlama lama di sini. Sempat terfikir untuk pulang saja, karena tempat ini benar benar membuat mataku panas. Tapi setelah kufikir fikir ini akan jadi bahan cerita yang bagus seperti yang kutulis sekarang.

Baiklah, waktunya menyamar jadi hidung belang…..

­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­

Derna duduk di bangku bambu panjang di luar warung, aku kebagian tugas untuk memesan minuman. Kuberanikan diri untuk memesan minuman di dalam warung, yang dipenuhi mbak mbak tak kenal dingin itu.

“mbak, pesen kopi sama extra joss” ujarku pelan

“kopinya nggak pake susu mas, monggo mas.. enak...?” sahut salah satu cewek.

“ohh enggak usah mbak, nggak terbiasa” balasku, sambil tetap melihat kaki.

“makanya coba mas biar terbiasa” kata si mbak dengan sedikit mendesah

“gak usah mbak.. saya tunggu di luar” ujarku, blingsatan.

Buru buru aku ke luar dan melihat derna yang sudah mantuk mantuk menahan kantuk. Kupukul kursi bambu itu dan ia mulai tersadar.

Aku : “( memperagakan telapak tangan di leher seperti orang bunuh diri )”

Derna : “(bangun, melihat wajahku, kemudian tidur lagi)”

Aku :”( menutup wajah dan berkata dalam hati : mampus )”

Seorang wanita seumuranku datang dengan membawa nampan lengkap dengan kopi dan extra joss. Setidaknya yang mengantar bukan wanita yang tadi. Ia meletakkan nampan itu di sebelah derna dan tanpa sungkan sedikitpun duduk di sebelahku, Mampus kuadrat.

Kuaduk terus kopiku, sambil terus berusaha memaksa mata agar tidak melihat mbak yang berpakaian minim di sebelahku. Langsung saja aku sosor kopi yang masih panas itu.

“hahahaha… masih panas mas, hati hati”

“hrrrrr…” gerutuku, menahan panas di lidah

“der….?!” Sahutku membangunkan derna

“ini mas extra jossnya…”

“iya mbak….”

Derna melihatku sambil menyipitkan mata dan tersenyum lebar lebar, hingga ku dapat melihat gigi gigi besarnya. Sepertinya dia menikmati sekali mengerjaiku di sini,

Daripada aku terlihat seperti cecunguk yang tak pernah mendapat sentuhan wanita dan bisa bisa diganggu dengan pria pria bertubuh kekar di sini. dalam kondisi ini, aku harus beradaptasi. Langsung saja kupasang tampang sok cool dan sedikit bertingkah hidung belang.

“namanya siapa mbak?”

“fenita.. masnya?”

“kenalin, alvi.. dari Surabaya.”

“ohhh aku dari trenggalek mas”

“sudah lama kerja di sini?”

“yah dua tahun lah mas.. masih junior..” ujarnya sambil memplintir plintir rambut.

“ehmm mbak maaf ni, di sini emang inisiatif sendiri?”

“ya nggak lah mas.. pengen cari duit, tapi yang simple aja nggak ribet. Diberitahu teman ada lowongan di sini, ya udah aku embat aja”

“hmmm sudah cukup lama ya.. engg.. selama ini pernah dijahilin nggak?”

“hahaha emang di sini kan buat ngehibur pelanggan kayak gini..”

“enggak, maksudku yang kurang ajar gitu.. seperti ngajak keluar mungkin?”

“rahasia mas…... diminum mas kopinya, keburu dingin.. o iya mas, aku kesana dulu ya.. ada yang datang lagi”

“ohh iya.. nanti balik lagi ya, cerita cerita lagi”

Fenita pun beranjak dari kursi, menghampiri seorang lelaki berjaket kulit yang Nampak kesal karena pesanannya tak kunjung datang. Bukannya sepi, Semakin larut tempat ini semakin ramai.

Bosan melihat derna yang sudah di alam mimpi dengan segelas extra joss ditenggak habis, aku melihat sekeliling tempat ini tanpa nyali untuk beranjak dari kursi amanku ini. Wanita wanita penghibur di sini bervariasi, dari yang terlihat sudah umur 30 an sampai yang masih seperti anak smp, dari yang malu malu mendekati tamu sampai yang tiba tiba datang sudah jadi boneka yang bisa dipegang seenaknya oleh tamu. Berbicara dengan fenita tadi seperti ada yang aneh, jika wanita lain berani mencolek tamunya, kenapa dia tidak?. Ketika berbicara pun dia sedikit tertunduk. Selama pembicaraan Nampak dia sering menggaruk garuk tangan atau sekedar membenarkan bajunya yang agak melorot, Indikasi bahwa dia tidak terbiasa. Mungkin dia berbohong, mungkin saja tuntutan ekonomi memaksanya kemari. Tapi jika dia tidak segera hengkang dari tempat ini, aku yakin dalam beberapa tahun ke depan dia akan seperti wanita “boneka” di depan.

Kuseruput tetes terakhir kopi di gelas, niatku untuk mengobrol lagi sudah sirna bersama dengan habisnya kopiku. kutepuk bahu derna dan mengajaknya untuk segera meninggalkan tempat ini. Tak lupa aku berjalan menuju warung dan bertemu fenita, kusodorkan uang sepuluh ribu dan fenita memberiku 2 batang rokok, Dia berdalih tidak ada kembaliannya. Mataku yang sudah lumayan berat aku tahan, akhirnya langsung saja kuambil 2 batang rokok itu dan bergegas menuju derna yang sudah menstarter vespa. Kemudian kami yang sudah kelelahan melenggang santai meninggalkan tempat maksiat itu.

“piroan mau?”

“tak ke’i sepuluh ewu disusuki rokok”

“ealah.. diapusi koe..”

“ha? Opo diapusi iku..?”

“dibohongi……”

“eeeaaa…., koe ngerokok? Aku ora.. nyoh pe’en rokoke”

“gag wes.. guak en ae…”

Ini benar benar wisata malam yang tak terlupakan. Seumur umur aku hidup di Surabaya, belum pernah aku menginjakan kaki ke dolly yang katanya lokalisasi terbesar se asia tenggara itu. tapi kami malah berhasil masuk ke dalam dolly mini. aku dan derna akhirnya tertawa bersama karena membuktikan bahwa kami cukup tangguh masuk kesana. Kulempar 2 batang rokok itu ke sawah, berharap ada kodok yang mau menghisapnya. Kupalingkan wajahku ke atas, bintang masih Nampak sama saat kami berangkat. hanya saja, sudut pandang cakrawala di tepi sawah terlihat lebih luas. Sebuah cahaya mengusik mataku di depan. Semakin dekat, kulihat itu adalah beberapa orang mengendarai sepeda pancal yang menggunakan dinamo untuk penerangan jalan. Vespa derna melesat mendahului mereka, kupalingkan wajahku ke belakang dan melihatnya dengan jelas.

Gadis gadis berkerudung putih mengayuh sepeda di malam hari, aku tersenyum melihat mereka. Memang, tidak ada yang membalas senyumanku, Mungkin karena gelap. Tapi yang jelas, mereka terlihat anggun sekali…


“Lemari kayu, Komplotan tukang, dan Wisma senang”

Aku duduk di atas kursi kayu yang belum dipernis sambil menatap jalanan ngujang yang sunyi. Para tukang hari ini terlihat sibuk sekali, Rupanya hari ini ada pengiriman mebel. Derna mengajakku untuk ikut, Tentu saja aku menyetujuinya. Suara berisik datang dari arah selatan. Sebuah mobil peranakan sedan dan pick up bermerk Chevrolet berhenti di depan rumah. Beberapa tukang menaikkan peralatan seperti palu dan gergaji ke atas mobil. Aku dan derna mengangkat sebuah pintu ke atas mobil. Dari arah rumah, datang seseorang bertubuh besar, kulitnya hitam legam dengan rambut mirip bob marley. Dia adalah mas eddy, king kong di sini. Maksudku king kong adalah, orang paling kuat yang sanggup mengangkat lemari ke atas mobil. Keberadaannya sangat diperlukan di sini, tentunya untuk mempermudah mobilitas pengangkutan. Dengan mudah mas eddy mengangkat lemari yang berbobot hampir sama dengan tubuh tambunnya. Hari ini mebel om bono memiliki jadwal mengirim sebuah pintu dan lemari. Mebel sudah diangkut, semua awak mobil sudah naik ke atas. Mas eddy duduk di depan bersama supir dan membuat badan mobil miring ke kiri. Tak lama kemudian, mobil ber plat AG 460 RE melaju dengan suara batuk batuk. Kuplesetkan mobil ini sebagai monster Agagore (AG460RE).

Hanya 10 menit saja kami tiba di lokasi pengiriman. tempat ini seperti kompleks perumahan. 1 pintu masuk dan banyak rumah rumah petak di dalam. sesuatu yang janggal terlihat dari baliho atau umbul umbul yang dipajang di depan gerbang. Baliho itu tertulis “satu kondom menyelamatkan 10.000 nyawa”. Aku melihat miris ke arah derna.

“jangan bilang ini lokalisasi”

“anda benar..”

Baru saja kemarin malam aku meyantroni warung kopi plus plus, sekarang aku malah datang sendiri ke kompleks pelacuran. Karena pintu depan dikunci, maka pintu yang di kirim ke salah satu rumah kompleks tersebut, terpaksa di bawa melewati tembok. Beberapa tukang segera melompati tembok dan bersiap di bawah, sedangkan yang lain dari arah mobil mengangkat pintu melewati tembok. Aku duduk duduk di atas badukan tembok, melihat lihat kompleks yang cukup luas ini. Setiap rumah selalu memiliki reklame kecil. Namanya pun bermacam macam. Ada wisma nusa 1, wisma nusa II, wisma arum dalu, dan lain lain. Setiap reklame tercetak “sponsor kondom” Merk sutra. Tujuan kami adalah wisma pojok bernama “halo sayang”. Aku tak berani turun, selain karena aku sedikit ngeri dengan ketinggian ini. banyak wanita wanita pemuas nafsu hidung belang kegirangan di bawah. tampaknya derna digoda oleh beberapa wanita tuna susila.

“mas cakep banget sih.. godain kita dongg”

“………. Endi pak aku ae seng ngangkat lawange..” ujar derna

“loh mas mau kemana…. Aku dicolek dulu…”

“…………….” Derna diam mengunci mulutnya.

“nanti malem tak tunggu ya” ujar wanita itu sambil mengedipkan mata.

“rumahnya di pinggir jalan raya mbak.., anaknya kang bono” sahut salah satu tukang

“ohh pantes.. kekar…” ujar si mbak makin gak tahan.

Derna benar benar dikerjai habis, mukanya memerah dan wanita itu tertawa terbahak bahak. Beberapa tukang ikut tertawa. Aku pun menutup, mulut menahan tawa melihatnya. Rasanya hari ini adalah pembalasan kepada derna. Beberapa tukang terlihat acuh tak acuh meski digoda, mungkin sudah kebal karena sering mengirim mebel kemari. Tak ada bedanya dengan warung kopi kemarin, tempat ini penuh dengan wanita wanita muda. Hanya saja di sini lebih tertata rapid an terorganisir seperti toko waralaba.

Setelah selesai mengirim pintu dan memasangnya, para tukang bergegas meninggalkan “wisma senang”. Mobil dinyalakan dan kami melesat meninggalkan halo sayang dan wanita wanita penghiburnya.

Tujuan kami berikutnya adalah Sd negeri 2 ngujang, mengirim lemari besar ini. Setelah 15 menit perjalanan, kami sampai di sebuah sekolah mewah, alias mepet sawah. Mas eddy langsung turun dari mobil dan memasang kuda kuda untuk menahan beban lemari, sementara yang lain mendorong lemari. Aku dan derna memasuki sekolah itu, mencari sang penjaga sekolah. kemudian kami berdua sampai di sebuah lorong, berdiri sebuah bangunan kecil yang tampaknya rumah dari penjaga sekolah. Tempat itu banyak sekali dihuni ayam dan burung dara dan terlihat sedikit kumuh. derna segera mengetuk pintu kecil di rumah itu dan aku hanya berdiri mengawasi, tiba tiba sesuatu berwarna putih besar menghampiri kami dan langsung menyerang kaki derna.

“weeeee…..!!!”

“angsa der !! angsa !!! “ teriakku panik

“awas ! ngaleh ngaleh !”

Seekor angsa biadab berteriak seperti terompet, menundukkan kepalanya dan berusaha menyosor kami dengan paruh kuningnya. Makhluk itu mengejar aku dengan cepat, sementara derna mentertawakanku dari dekat. Tak lama kemudian, angsa itu frustasi mengejarku dan beralih mengejar derna. Aku tertawa melihat derna melompat menghindari sosoran maut si angsa. angsa itu tetap tidak terima dengan kehadiran kami, pantatnya yang putih besar, bergoyang goyang seperti karung terigu yang diayak.

cukup lama kami berduel dengan angsa yang merasa dirinya anjing Doberman pinchster, suara dari kejauhan memanggil kami. Rupanya penjaga sekolah sudah ada di halaman, sia sia kami ke sini dan mendapat sedikit luka lecet di kaki. si Angsa tak mengejar kami, ia berputar kembali saat kami keluar dari lorong neraka.

Rupanya kami telah ketinggalan acara. Lemari itu sudah diangkat dan diletakkan di ruang guru. Tak bisa kubayangkan bagaimana mengangkat lemari sebesar itu, tapi dengan bantuan mas eddy, semuanya menjadi mungkin.

Tugas komplotan tukang sudah selesai, mobil melaju dengan para awak duduk di belakang dek. Berjalan pelan menyusuri tulungagung yang terik di siang hari. Tak terasa keringat mengucur dari dahiku, kulihat awan luas di atasku yang menutup matahari, dan sesekali mengintip, menyilaukan mata kami. Andai saja Aku tak secepat ini meninggalkan tulungagung.

Sesampainya di rumah, para tukang berhamburan dari mobil. Kini agagore dikendarai oleh om bono bersama aku dan derna. Tujuan kami adalah mencari kambing etawa, Stater dinyalakan dan agagore kembali turun ke jalan.

Kami tiba di sebuah tempat bernama pasar kambing desa pelas. Tempat ini ramai sekali oleh orang orang, dan tentu saja kambing. Ada yang hanya membawa kambingnya dengan tali, ada yang diangkut menggunakan mobil, ada pula yang diikat di sepeda motor. Di lapangan kecil yang hanya seluas 20 meter persegi itu, proses transaksi mengalir diantara mereka.

Om bono Nampak kecewa, karena tak ada yang menjual kambing etawa. Hanya ada kambing lokal di sini. Kambing kambing di sini bagaikan emas yang harus dipelihara. Aku harus mengakui ketangguhan jiwa bisnis orang orang desa. Darimana lagi kota mendapat pasokan daging aqiqah atau qurban jika tidak dari desa?. Dengan membeli indukan yang bunting ataupun yang sudah dewasa, dapat dibayangkan berapa pundi pundi rupiah yang mereka teguk dengan modal makan rumput yang berserakan di depan rumah.

Tak lama kemudian, kami pulang setelah puas melihat lihat kambing aneka warna di desa pelas. Karena beberapa jam lagi aku akan pulang, om bono mengajakku ke pasar ngemplak untuk mencari burung bubut, the crow pheasant.

Pasar ngemplak tidak seperti pasar burung bratang di Surabaya. Yang jual burung di sini hanyalah para pkl yang membawa burung tangkapan mereka ke pinggir jalan. Dengan antusias aku melihat seksama satu persatu dan berharap dapat menemukan burung bubut untuk dibawa pulang. Tidak hanya burung, kelinci dan marmut juga dijual di sini, Kebanyakan pedagang mengatakan hasil ternak sendiri di rumah. Burung prenjak, anis, bahkan kepodang juga ada, namun tak kulihat seekor pun burung bubut di sangkar.

Para pedagang Nampak kebingungan ketika ku menanyakan burung bubut. Rupanya burung ini tidak terlalu bernilai ekonomis di sini. Burung bubut hanya bernilai jika ada seseorang yang patah tulang. karena menurut masyarakat, minyaknya dapat menyembuhkan patah tulang.

Memang sedikit sekali penggemar burung bubut, selain suaranya yang seram dan tidak ada merdu merdunya, penerbang amatir, warnanya jelek, baunya pun seperti siput. karena memang makanannya adalah siput dan hewan hewan kecil lain di sawah. Tapi jika menelisik dari kekerabatannya, hewan ini adalah kerabat gagak yang cerdas.

“kapan kapan kalo ke sini lagi fi, kita ke pasar wage. Biasanya ada hewan hewan aneh dijual” ujar om bono

“kamu kesini pas tanggalan jawa wage..” kata derna

“hmmm oke oke..”

Pulang tanpa hasil apapun, kami tetap tersenyum menatap hari. Meski aku dan om bono sama sama belum mendapat buruan, toh masih ada kesempatan di lain waktu. Sesampainya di rumah, tante wiji sudah menyiapkan 2 buntalan kresek besar buat oleh oleh di Surabaya.

“ini fi.. buat keluarga di rumah ya.. salam buat mama”

“ ohh iya tante, terima kasih.. ngomong ngomong apa isinya?”

“setandan pisang sama baju buat mamamu”

“iya tante terima kasih sekali…”

Hari mulai siang. Aku menuju stasiun ngujang bersama derna, meninggalkan kenangan aneh bin lucu selama berada di tulungagung. Sebenarnya pada hari itu ada lomba motor cross di sore hari, namun jika aku semakin siang, tentunya aku akan tiba di Surabaya larut malam dan merepotkan ayahku yang menjemput. Waktu menunjukkan pukul 13.30 dan kereta doho Nampak melaju kencang dari kejauhan. Aku pun pamit dengan derna yang mengantarku.

Terima kasih semua, ini pengalaman yang tak terlupakan. suatu saat aku pasti kembali bertemu mbah ukir dan membawa ular, mencari burung bubut bersama om bono, dan menjelajahi tulungagung dengan vespa antik derna..

Epilog :

Pulang menuju Surabaya Nampak membosankan jika sendirian. Tidak ada seorang pun yang menemani, kecuali ibu ibu yang ngorok di depan kursiku. Mulutnya membuka lebar dan sesekali mengejang. Jika ia membuka mulutnya lebih lebar lagi, aku yakin ia mampu menelan buah hatinya. Anaknya sendiri seperti melihat horror di siang hari, mungkin karena ibunya mirip dengan film Godzilla yang dilihatnya kemarin malam bersama sang ayah.

Kereta sampai di sebuah stasiun kecil yang tidak kuketahui namanya, Karena tidak sempat melihat palang nama stasiun. Beberapa remaja putri masuk dari arah belakang. Kulihat tas yang mereka bopong tertempel pin unesa. Ingin ku berkenalan, tapi aku takut tanganku tertelan oleh ibu ibu di depanku. Salah satu gadis, berkerudung coklat dan panjang, mirip seperti peserta manasik haji.

Kloter berikutnya adalah segerombolan pemuda bertampang garang lengkap dengan baju bergambar tengkorak dan rantai yang mengunci saku belakang, Sepatu kets nya pun tak kalah matching dengan bajunya. Beberapa dari mereka seperti berbisik ke arah temannya.

“ngintip surga yuk…”

“mana…?”

“tuh dibalik baju mbak itu”

Gadis berkerudung itu Nampak lesu. Ia hanya tertunduk dan memegang rapat rapat tas yang digendongnya di depan. Aku tak tahu bagaimana sakitnya penghinaan ketika kau sudah menutup auratmu sedemikian rupa, tapi setan selalu menemukan jalan untuk menggoda.

Salah satu temannya yang mendengar percakapan itu langsung menyeret dia untuk bertukar tempat. Temannya melotot, menatap pemuda pemuda kurang ajar itu. Namun, mereka malah tertawa.

Kereta bergerak, sedikit guncangan menyertai kereta saat memulai gerakan pertamanya. Hawa semakin panas dan banyak anak kecil mulai menangis di dalam kereta. Suara tangis itu beradu dengan suara pedagang yang juga berkoar koar menawarkan barang dagangannya. Mataku mulai lelah dan tertidur sejenak, sampai bunyi gemericik mengetuk kaca di sampingku. Awan mendung menyelimuti langit, titik titik air jatuh perlahan di tubuh kereta yang bongsor. Gerimis dan hawa dingin mulai mengaburkan pengap yang ada di kereta. Kulirik gadis berkerudung tadi dan melihatnya sedang berjongkok sambil menikmati bekal di lunch box. Sementara pemuda pemuda tadi sudah tidur sambil berdiri dekat toilet kereta.

Awan mulai gelap, pertanda sore akan usai. Kereta berhenti lagi di stasiun jombang. Penumpang secara berkala turun dan naik dari kereta. mungkin karena hari ini adalah weekend, lonjakan penurunan penumpang ada di Surabaya. Sebelum sampai Surabaya, hanya sedikit penumpang yang turun dan semakin banyak penumpang yang naik, membuat gerbong ini semakin penuh sesak dan miskin oksigen, Anak kecil pun meraung semakin menjadi jadi. Beginilah beberapa aktivitas masyarakat komuter, mulai dari yang bekerja, hingga kuliah. berdesak desakan di kereta ekonomi yang ekonomis, untuk mengadu nasib di kota besar.

Kembali kupandang si gadis berkerudung coklat, sekarang ia Nampak sudah segar dan penganggu pengganngu itu sepertinya sudah turun dari kereta. Tanpa kusadari penumpang sebelahku telah berganti rupa. Semula seorang bapak bapak berpeci, tiba tiba berganti seorang gadis berkerudung, Lagi lagi gadis berkerudung.

“mas turun mana?”

“Surabaya.., mbaknya?”

“Sama… kalo aku turun gubeng..”

“ohh aku turun wonokromo mbak, DTC..”

“ohhh hehe..”

“cantikkkk…” sebuah suara menggoda menyeruak dari balik kerumunan

“mbak sini loh ngobrol sama kita…” ujar suara itu, yang berasal dari seorang pemuda

Sepertinya aku tahu apa masalahnya, dia mencari tempat yang aman dari para pengganggu itu. Makanya dia tiba tiba mengajakku ngobrol.

“mas siapa namanya? Kenalin anita..” ujarnya sambil merapatkan tangan ke wajah

“alvi mbak..”

“mbak..kenalin, jeffry..hahahaahah” ujar pemuda di balik kerumunan berusaha meraih

tangan anita namun segera dihindarinya

“kuliah mbak?” tanyaku

“iya.. di unair, kesehatan masyarakat angkatan tahun 2007”

“ohh… aku di unesa mbak…geografi angkatan 2009”

“syukur deh bisa masuk negeri..”

“iya mbak, alhamdulilah..”

“mbaknya kalo sudah lulus rencananya kemana?” tambahku

“mungkin kembali ke jombang, memajukan kota ku, hehe” ujarnya tersenyum manis

“ngguyu ae raimu tak santap engkuk” ujar pemuda itu

“hehehe.. ngguyu kan sehat mas”

“gendeng raimu !.. hahahahaha”

kepalaku panas, Ingin rasanya memasukan sepatu TNI ku yang diformulasikan khusus untuk menendang wajah ke mulutnya yang lancang.

“dolan karo aku ae mbak.. iso opo arek iku.. opo seh dolananmu le?”

“biasane dolan ulo mas karo kolojengking.. yo kewan sing ngeri ngeri ngunu”

Anita terbelalak mendengar perkataanku, sementara dia tetap diam meski selalu di ajak bicara oleh pemuda itu.

“haha.. mosok sehh..”

“ya monggo ae mas, sampean teko dino jumat bengi nak taman bungkul”

“onok opo?”

“kumpul kumpul pecinta reptile mas”

“pret.. ngguyu ae…”

“heehehhhe”

Andai saja dari tulungagung aku mendapat ular sudah kulempar di wajahnya dan tertawa kesetanan melihat orang itu mati kena serangan jantung. Tapi kuurungkan niatku, tentu saja seisi gerbong bisa histeris dan dapat membuat seisi kereta ini anjlok.

Kami tiba di wonokromo. Semula aku akan turun sini rupanya ayahku mengubah rencana dan menyusulku di stasiun gubeng. Mbak berkerudung coklat dan teman temannya turun di wonokromo, bersamaan dengan Pemuda pengganggu anita yang sempat meledekku tidak berani turun di sini.

Tak lama kemudian kereta sudah sampai di stasiun gubeng. Diantara kerumunan, aku kehilangan anita. Mungkin di antara kalian, terutama anak unair bisa mempertemukanku lagi dengan anita suatu saat. Aku berjalan keluar dan menghirup kembali udara kotor Surabaya, yang penuh polusi dan dihiasi dengan gemerlap lampu malam. Dari kejauhan Ayahku sudah Nampak menunggu di tepi jalan dengan kumis tebalnya.

Surabaya, im back…

( well done, tulungagung groove adventure, tamat) thanks for all reader =D

Rabu, 27 Juli 2011

Biogeografi : sanca batik (python reticulatus) endemik sulawesi




Disusun oleh :

Miftah Alfian Rizky

094274047


UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL

S1-PENDIDIKAN GEOGRAFI

ANGKATAN 2009

BAB I

PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Indonesia dengan segala keanekaragaman hayatinya menyimpan banyak misteri kehidupan, salah satunya adalah kehidupan ular. Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, ular adalah hewan magis yang memiliki banyak peran dalam ritual seperti perlambangan kebaikan ataupun kejahatan. Sebagai contoh di india, mitologi hindu menggambarkan dewa Vishnu menitis menjadi kura kura penyangga tongkat pengaduk bertalikan ular raksasa (sanca) yang mendatangkan keajaiban dari laut(Archie, 1980). Mitologi masyarakat Indonesia terutama suku jawa menganggap semua ular berbahaya dan makhluk yang harus dihindari. Ular sanca batik (python reticulatus) adalah salah satu ular terpanjang di dunia dan merupakan reptil yang umum ditemui di Indonesia. Keadaan geografis Indonesia yang unik dengan bentang alam kepulauan dan variasi ekosistem yang beragam memiliki perannya tersendiri dalam membentuk keanekaragaman hayati. Salah satunya adalah proses isolasi disebabkan rintangan geografis yang menyebabkan proses endemisme pada suatu makhluk.

Sama halnya dengan manusia Indonesia yang terbagi atas banyak suku dan budaya dikarenakan faktor geografis yang membuat mereka memiliki kebudayaannya sendiri. Ular sanca juga terbagi atas locality (daerah asal) yang menyebabkannya mereka memiliki perbedaan dari segi corak maupun ukuran dari setiap tempat, salah satunya adalah sanca dari pulau Sulawesi

B. RUMUSAN MASALAH

  1. apa itu sanca batik?

  2. Bagaimana keadaan geografis pulau sulawesi?

  3. Apa ciri khusus sanca batik Sulawesi?

  4. Bagaimana peran kondisi geografis membentuk subspesies sanca batik Sulawesi?

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulis menulis makalah tentang “sanca batik (python reticulatus) endemik sulawesi” adalah untuk menambah wawasan mengenai ular sanca batik endemik sulawesi, yang keunikannya dipengaruhi oleh keadaan geografis pulau Sulawesi.


BAB II

PEMBAHASAN


A. SANCA BATIK (PHYTON RETICULATUS)

Sanca batik (pythton reticulatus) adalah sejenis ular tak berbisa dari keluarga boidae primitif yang berukuran besar. Ukuran terbesarnya dikatakan dapat melebihi 10 meter. Lebih panjang dari anaconda (Eunectes murinus), ular terbesar dan terpanjang di Amerika Selatan. Memiliki nama lain seperti Boa reticulata (Schneider, 1801) Boa rhombeata (Schneider, 1801) Boa phrygia (Shaw, 1802) Coluber javanicus (Shaw, 1802) Python schneideri (Merrem, 1820) Morelia reticulatus (Welch, 1988)Python reticulatus (Kluge, 1993)

dalam bahasa inggris reticulated python atau kerap disingkat retics. Sanca batik ini mudah dikenali karena umumnya bertubuh besar. Keluarga sanca (Pythonidae) relatif mudah dibedakan dari ular-ular lain dengan melihat sisik-sisik dorsalnya yang lebih dari 45 deret, dan sisik-sisik ventralnya yang lebih sempit dari lebar sisi bawah tubuhnya. Sanca kembang hidup di hutan-hutan tropis yang lembab (Mattison, 1999). Ular ini bergantung pada ketersediaan air, sehingga kerap ditemui tidak jauh dari badan air seperti sungai, kolam dan rawa.

Makanan utamanya adalah mamalia kecil, burung dan makhluk berdarah panas lainnya. Ular-ular berukuran besar dilaporkan memangsa anjing, monyet, babi hutan, rusa, bahkan manusia yang ‘tersesat’ ke tempatnya menunggu mangsa Ular ini lebih senang menunggu daripada aktif berburu, barangkali karena ukuran tubuhnya yang besar menghabiskan banyak energi.

Mangsa dilumpuhkan dengan melilitnya kuat-kuat (constricting) hingga mati kehabisan napas. Beberapa tulang di lingkar dada dan panggul mungkin patah karenanya. Kemudian setelah mati mangsa ditelan bulat-bulat mulai dari kepalanya.Setelah makan, terutama setelah menelan mangsa yang besar, ular ini akan berpuasa beberapa hari hingga beberapa bulan hingga ia lapar kembali.


a. persebaran geografis

sanca batik dapat ditemukan di asia tenggara dari kepulauan nikobar, bangladesh, birma, thailand, laos, kamboja, vietnam, malaysia dan singapura. di filiphina dapat ditemukan di basilan, bohol, cebu, leyte, pulau luzon, pulau mindanao, mindoro, negros, palawan, panay, polillo, samar dan tawi tawi. Di indonesia sendiri dapat ditemukan di sumatra, kepulauan mentawai, kepulauan natuna, kalimantan, sulawesi, jawa, lombok, sumbawa, sumba, pulau flores, timor timor, maluku, hingga kepulauan tanimbar.

b.sub spesies

sanca batik sendiri (dengan nama ilmiah trinomial) adalah python reticulatus reticulatus. Memiliki 2 subspesies yang sudah diakui keaslian genetikanya yaitu sanca batik selayar (pythton reticulatus saputrai) dan sanca batik tanah jampea (python reticulatus jampeanus), keduanya berada di pulau sulawesi, tepatnya di pulau selayar dan pulau tanahjampea.


B. KEADAAN GEOGRAFIS PULAU SULAWESI

Sulawesi adalah pulau yang memiliki daerah seluas 172.000 km persegi, dengan pulau pulau kecil di sekitarnya luasnya menjadi 188.000 km persegi. Sulawesi merupakan pulau terluas ke tiga dari gugusan pulau pulau sunda besar lainnya. Sulawesi merupakan pulau yang memiliki pegunungan padat dan tersebar merata di semua kepulauan, hanya beberapa daerah sempit saja yang relatif dataran rendah pantai dan dataran rendah pegunungan, selain itu Sulawesi memiliki banyak binatang khas mulai dari mamalia, reptil, burung hingga serangga.

Sulawesi berada di wawasan Australasia/Australia dengan topografi bergunung gunung, Sulawesi berbatasan dengan kalimantan di sebelah barat, Filipina di sebelah utara, Flores di selatan, Timor timur di tenggara dan Maluku di sebelah timur. Secara garis besar Sulawesi memiliki tipe vegetasi hutan hujan tropis dan hutan muson (ripley, 1983)

Menurut para ahli Geologi, bahwa terbentuknya pulau Sulawesi yang terjadi secara alamiah oleh proses alam, memang berbeda dengan proses terbentuknya pulau-pulau yang lain di Negara Kepulauan Nusantara ini, bahkan hanya beberapa pulau di dunia yang mempunyai kesamaan dalam proses terbentuknya. Pulau Sulawesi terbentuk dari proses Endogen, yaitu proses yang terjadi karena adanya Pengangkatan dari dalam perut bumi. Artinya pembentukan pulau Sulawesi terjadi dengan sendirinya, tidak seperti pulau-pulau lain yang proses pembentukannya merupakan hasil Patahan/Pelepasan Daratan dari suatu Daratan Utama/Benua. Seperti pulau Jawa yang dulunya bersatu dengan pulau Sumatra dan bersatu dengan Malaysia terus ke daratan Asia. Pulau Kalimantan dulunya bersatu dengan sebagian daerah Malaysia terus ke Philipina terus ke daratan Asia. Pulau Maluku dulunya bersatu dengan Irian Jaya (kini Papua) bersatu dengan Papua New Guinea terus ke daratan Australia. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya persamaan flora (tumbuhan) dan fauna (hewan) di antara masing-masing wilayah tersebut. Berbeda halnya dengan pulau Sulawesi yang memang dulunya terbentuk dengan sendirinya dari proses Endogen. Jadi pulau Sulawesi terbentuk bukan dari proses perpisahan daratan oleh proses alam dari dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia apalagi benua-benua lain. Hal ini terbukti dari ada beberapa jenis flora dan fauna yang tidak ada samanya di dunia, sebagai contoh hewan Anoa, babi rusa, raja ikan (coelacanth) sanca batik selayar dan sanca batik tanahjampea. Alfred russel Wallace membagi Indonesia menjadi 3 zona zoogeografi., yaitu zona asiatis, peralihan dan australis. Pulau Sulawesi sendiri termasuk zona zoogeografi peralihan, yang terletak diantara garis wallacea sebelah barat dan garis weber di sebelah timur. Walaupun sempit, selat Lombok sangat dalam dan menjadi rintangan sempurna untuk makhluk hidup berpindah,


a. kronologi pembentukan pulau Sulawesi

Professor john A. katili, ahli geologi Indonesia yang merumuskan geomorfologi pulau Sulawesi bahwa terjadinya Sulawesi akibat tabrakan dua pulau (Sulawesi bagian timur dan Sulawesi bagian barat) antara 19 sampai 13 juta tahun yang lalu, terdorong oleh tabrakan antara lempeng benua yang merupakan fondasi sulawesi timur bersama pulau pulau banggai dan sula, yang pada gilirannya merupakan bagian dari lempeng australia, dengan sulawesi barat yang selempeng dengan pulau pulau kalimantan, jawa dan sumatra menjadi salah satu wilayah geologis paling rumit di dunia. berdasarkan skala waktu geologi versi J. Laurence kulp, berikut ini perkiraan kronologi pembentukan pulau Sulawesi

1. EOSEN ( 65-40 juta tahun yang lalu )

Proses pembentukan pulau Sulawesi yang unik telah melalui proses yang juga unik yaitu hasil akhir dari sebuah kejadian apungan benua yang diawali 65 juta tahun lalu. Saat itu ada 2 daratan yaitu cikal bakal kaki Sulawesi Tenggara dan Timur, dan cikal bakal kaki Sulawesi Selatan, Barat dan Utara. Kedua apungan daratan itu terbawa bergerak ke barat menuju Borneo ( sekarang bernama Kalimantan ). Proses tumbukan akibat apungan lempeng benua itu menyebabkan kedua daratan itu mulai terkumpul menjadi satu daratan baru.


2. MIOSEN ( 40-20 juta tahun yang lalu )


Pada zaman ini pergerakan lempeng kearah barat disertai dengan persesaran yang menyebabkan mulai terjadi perubahan ekstrim bentuk daratan. Bagian tengah ketiga daratan itu tertekuk akibat benturan atau pergeseran, sebuah proses yang lebih kuat dibandingkan apa yang terjadi di kedua ujung atas dan bawahnya ( daratan utara dan selatan ). Proses tektonik berlangsung kuat di daerah yang tertekuk itu sehingga menyebabkan pencampur-adukan jenis-jenis batuan yang berasal dari lingkungan pengendapan yang berbeda.




3. PLIOSEN ( 15-6 juta tahun yang lalu )

Hingga zaman ini proses penumbukan kedua daratan itu terus berlangsung, bahkan apungan hasil tumbukan terus bergerak hingga mendekat ke daratan Kalimantan lalu berhenti di sana. Persesaran yang telah mulai sejak zaman Miosen masih terus berlangsung, bahkan berdampak apada pemisahan kelompok batuan dari kawasan di sekitar danau Poso dan kelompok batuan sekitar danau Matano. kedua kelompok batuan ini meski lokasinya berdampingan, namun memperlihatkan asosiasi batuan yang berbeda.


4. PLEISTOSEN ( 4-2 juta tahun yang lalu )

Pada zaman ini mulai berlangsung fenomena baru, yaitu proses pemekaran dasar samudra di laut antara Kalimantan dan Sulawesi ( sekarang dikenal dengan selat Makasar ). Pemekaran dasar samudra ini menyebabkan cikal bakal atau pulau Sulawesi purba. Dan pulau Sulawesi purba ini kembali bergerak ke timur menjauhi Kalimantan. kecepatan gerakan apungan di atas lempeng benua adalah peristiwa yang berlangsung perlahan namun konsisten dengan laju beberapa centimeter pertahun.


C. SANCA BATIK ENDEMIK SULAWESI

sanca batik Selayar (python reticulatus saputrai) : Pulau Selayar terletak di selatan kota Makassar. dari segi penampilan ditandai warna kuning di motif samping sangat kental dan beberapa ada yang sedikit memiliki bintik hitam .Matanya yang aneh berwarna perak kehijauan biasanya akan berkembang seiring dengan umurnya. ukuran maksimal betina 4,5m.


Sanca batik tanah jampea (python reticulatus jampeanus) Jampea memiliki pola yang buram dengan didominasi warna perak,abu-abu,hiaju, coklat dan kuning,Warna matanya typikal Tembaga keperakkan. beberapa orang mengatakan sanca ini jenis Dwarf (kerdil) panjang max betina 3 meter

a. kedatangan sanca di pulau selayar dan tanah jampea

dari kronologi pembentukan Sulawesi, diperkirakan sanca datang melalui Kalimantan pada kala pliosen (15-6 juta tahun yang lalu) karena pada masa itu Sulawesi hampir menyatu dengan Kalimantan dan paparan sunda (jawa, Sumatra, Kalimantan) telah dihuni beragam spesies makhluk hidup, salah satunya adalah ular sanca. Hal tersebut memungkinkan sanca menyebrangi selat kecil antara Kalimantan dan Sulawesi melalui jembatan penyaring. Rentetan masuknya binatang ke suatu daerah melalui jembatan penyaring mungkin banyak terjadi pada kala pleistosen yang berhubungan dengan zaman pluvial (zaman hujan), Di daerah garis lintang tropik dekat khatulistiwa. Perubahan iklim yang menyebabkan adanya jembatan penyaring terjadi pada masa itu menyebabkan sanca yang menyebrang beradaptasi dengan kondisi Sulawesi yang baru . Fisik dan Kebiasannya mungkin berubah karena ada faktor tekanan lingkungan yang mengharuskannya mencari sumber makanan baru, adaptasi habitat baru dan persaingan dengan binatang lain yang ikut menyebrang. Semuanya mempengaruhi proses perubahan sedikit demi sedikit. Dalam jangka waktu lamanya mungkin telah merubah keadaan genetik sanca tersebut.

E.o Wilson mengemukakan bahwa binatang yang datang ke sebuah pulau atau kepulauan kecil mungkin akan menemukan relung ekologi kosong yang tak terdapat di tempat asalnya, Di tempat itulah terjadi pembebasan ekologi. Yaitu perluasan cepat ke berbagai lingkungan yang sebelumnya tertutup. Akibatnya timbul diversifikasi (atau percabangan) yang sangat luas, baik dalam hal kebiasaan maupun tampangnya. Sanca batik di pulau Sulawesi pun mengalami hal serupa, terjadi percabangan antara ukuran dan motif. Walau sanca batik selayar dan sanca batik tanah jampea adalah subspecies yang telah diresmikan, sesungguhnya masih terdapat sanca batik lain seperti sanca batik buton dari pulau buton, sanca batik kayuadi dari pulau kayuadi, dan sanca batik kaloatoa dari pulau kaloatoa. Kesemuanya menunjukkan motif yang hampir serupa seperti motif rantai pada sisik dorsal (punggung), ukuran yang hampir sama, yaitu dwarf (kerdil) dengan ukuran rata rata 1,5 hingga 2 meter. Tidak seperti saudaranya dari paparan sunda yang mencapai rata rata 3 hingga 4 meter. Keberadaan jembatan penyaring terlihat pada pulau pulau yang dihuni sanca kerdil tersebut, yakni menunjukkan asosiasi rantai pada pulau yang masih dalam satu jalur rangkaian. kesemuanya berada di rangkaian pulau kecil pada Sulawesi selatan, kecuali pulau buton yang berada di Sulawesi tenggara. Hal ini menunjukkan mereka masih berkerabat dekat.

b. endemisme

endemisme dalam ilmu ekologi adalah gejala suatu organisme menjadi unik pada suatu lokasi geografi tertentu, seperti pulau, lungkang, Negara atau zona ekologi tertentu. Untuk dikatakan endemik, suatu organisme harus ditemukan hanya di suatu tempat dan tidak ditemukan di tempat lain. Seperti sanca batik selayar dan sanca batik tanahjampea yang hanya dapat ditemukan di pulau selayar dan pulau tanahjampea. Endemisme sendiri diperkuat oleh faktor fisik, iklim, dan biologis. Wilayah dengan keanekaragaman hayati tinggi tidak berarti merupakan daerah dengan tingkat endemisme tinggi, meskipun kemungkinan untuk dihuni oleh organisme endemik menjadi meningkat

c. isolasi geografis sebagai proses endemisme

isolasi geografis adalah faktor utama penyebab terjadinya endemisme, dimana suatu organisme tidak mendapat kesempatan untuk berpindah maupun beradaptasi di tempat lain, karena rintangan geografis. Membuatnya terjebak dalam wilayah tertentu yang mengakibatkan organisme tersebut memiliki peran spesial baik fisik maupun perilaku, sebagai hasil dari adaptasi khusus terhadap tantangan hidup di wilayah tersebut, lalu kemudian menjadi bentuk yang khas.


D. PROSES PENGKERDILAN PADA SANCA BATIK SELAYAR DAN TANAH JAMPEA

Mamalia penghuni pulau acap kali lebih kecil daripada kerabatnya yang hidup di daratan benua. Ada anggapan bahwa kekerdilan binatang penghuni pulau ini merupakan adaptasi terhadap sempitnya daerah yang tersedia bagi tiap tiap binatang untuk mencari makan dan mengembara. Sebagai contoh Anoa, adalah kerbau liar terkecil di dunia dengan tinggi bahu hanya 90 cm saja, bandingkan dengan kerbau india yang memiliki tinggi bahu hingga 1,5 meter. berbeda dengan reptilia, sebagai contoh biawak komodo, malah mengembangkan bentuk raksasa di pulau komodo dan pulau rinca yang kecil. Analisis yang berkembang karena komodo tidak memiliki pesaing lain (karnivora puncak) dalam rantai makanan, selain itu mangsa yang tersedia di pulau tersebut mencakup mamalia besar seperti kerbau, babi maupun rusa. Dengan persediaan mangsa seperti itu dan komodo sebagai reptil berdarah dingin yang efisien dalam menyimpan tenaga maka wajar jika komodo mengembangkan bentuk raksasa. Namun penelitian yang tak senada ditemukan pada jenis sanca batik khas Sulawesi, yaitu sanca batik selayar (python reticulatus saputrai) dan sanca batik tanah jampea (python reticulatus jampeanus), karena keduanya adalah reptil berdarah dingin, namun mengalami pengkerdilan seperti mamalia. Analisis yang berkembang adalah karena jumlah mangsa yang tersedia sangat sedikit sehingga energi yang digunakan untuk tumbuh lebih sedikit. Dalam kasus pemeliharaan oleh manusia, diketahui sanca tersebut mampu tumbuh lebih dari yang digrafikkan. Hal ini semakin memperkuat hipotesis mengenai sumber makanan yang tersedia. Melalui perilaku, diketahui bahwa biawak komodo merupakan makhluk yang soliter namun berkumpul pada saat makan, tak menghiraukan sifat alaminya untuk hidup menyendiri. Pada ular sanca berbeda demikian, sanca merupakan makhluk soliter sejati, hanya berkumpul pada masa kawin. Selain itu setiap sanca memiliki bau khusus untuk menjaga jarak dengan sanca lain di sekitarnya. Jika hal itu dikaitkan dengan luas pulau yang kecil dan daya jelajah sanca, maka berkembang hipotesis dengan tubuh kecil maka populasi sanca tetap terjaga walaupun luas wilayah kecil karena jarak antar sanca satu dengan yang lain berkurang, setiap individu memiliki wilayah yang lebih kecil dari sebelumnya, dan intensitas pertemuan diantara mereka semula bersinggungan kini normal kembali.













BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Faktor geografis Sulawesi memegang peran penting dalam proses endemisme terhadap sanca batik endemik Sulawesi dan kronologi pembentukan pulau Sulawesi merupakan faktor utama terjadinya penyebrangan makhluk hidup dari Kalimantan ke pulau Sulawesi atau sebaliknya. yang kemudian iklim, daya adaptasi makluk tersebut (biologis) dan fisik Sulawesi yang menentukan keberhasilan makhluk hidup yang tinggal dan melakukan pembebasan ekologi. topografi Sulawesi yang bergunung gunung dan terisolasi membuat tidak hanya sanca yang mengalami endemisme, sehingga Sulawesi kaya akan makhluk unik yang khas dan hanya terdapat di Sulawesi.

B. SARAN

Terus dilakukan upaya penelitian oleh peneliti lokal mengenai jenis sanca lain, mengingat masih banyak misteri alam yang belum terkuak di Indonesia. terutama informasi yang berkaitan dengan herpetologi dan biogeografi, banyak sumber masih merupakan adaptasi dari refrensi asing.























DAFTAR PUSTAKA

www.wikipedia.org(diakses pada tanggal 23 juli 2011, pukul 22.00)

www.wch-toxinology.com (diakses pada tanggal 23 juli 2011, pukul 22.00)

www.reptilx.com (diakses pada tanggal 23 juli 2011, pukul 22.00)

www.smkbuddhi.blogspot.com/2011/02/proses-terbentuknya-pulau-sulawesi.html(diakses pada tanggal 23 juli 2011, pukul 22.00)

materi perkuliahan Dra. Sulistinah, Geografi regional Indonesia.

Materi perkuliahan Drs. H. Daryono, M.Si, geologi indonesia

Taryana, didik. 1997. garis besar geomorfologi Indonesia. Malang : IKIP malang

Farb, peter. 1980. Ekologi( edisi bahasa Indonesia). Jakarta : Tira pustaka

Dillon Ripley, S. 1983. Asia Tropik (edisi bahasa Indonesia). Jakarta : Tira pustaka

Carr, Archie. 1980. Reptilia (edisi bahasa Indonesia). Jakarta : Tira pustaka